dony_bogor@yahoo.com

Rabu, 31 Maret 2010



Istilah ‘desain’ dewasa ini menjadi kata yang cukup memberi wibawa bila digandengkan dengan kata lain. Desain grafis, desain komunikasi visual, desain interior, desain eksterior, desain bangunan, desain busana dan lain sebagainya, merupakan beberapa contoh di antaranya. Apalagi jika kata tersebut di’kawin’kan dengan personal. Biasanya dinamakan ‘desainer’. Desainer grafis, desainer komunikasi visual, desainer interior… wah, pokoknya jempolan. Kadang ada yang menulisnya dikembalikan ke rumpun aslinya. Graphic designer, interior designer, exterior designer, dan belakangan muncul lagi web designer,dan seterusnya.

Awalnya, kita mengenal kata ‘rancang, merancang, rancangan’. Sejalan dengan perkembangan sosial budaya, kata ini selanjutnya dinilai tidak lagi sepenuhnya dapat melingkupi kegiatan, keilmuan, keluasan dan pamor profesi. Ada lagi kata ‘rancang bangun’. Namun kata itupun lebih menjurus kepada praktek rekayasa. Para ahli (pasar) kemudian lebih memilih meng-Indonesiakan kata aslinya design (Inggris) menjadi desain. Ini mungkin yang lebih mewakili cabang ilmu, profesi, program studi, maupun istilah yang dipergunakan pada beberapa undang-undang perlindungan intelektual.

Orang Italia jauh lebih dahulu memakai kata desain ini dalam kehidupan mereka. Mereka menyebutnya ‘designo’ yang berarti ‘gambar’. Sekitar abad ke 17 bangsa Inggris memberi makna baru untuk kata ini ketika membentuk School of Design tahun 1836. Sejak saat itu maka kata desain ini menjadi lebih luas perkembangannya. Dua tokoh gerakan anti industri di Inggris pada abad ke 19 (Ruskin dan Morris) selanjutnya memberi bobot art and craft untuk kata desain. Yaitu paduan antara seni dan keterampilan. Sekarang kita menikmati kata desain itu sebagai gabungan yang padupadan antara ‘teknologi dan seni’.

Gagasan/Ide menempati urutan pertama. Biasanya timbul pada saat tuntutan kebutuhan terhadap beberapa aspek, antara lain peningkatan sosial kultural dan kecenderungan manusia untuk ‘takut’ terhadap ancaman lingkungannya. Sebagai contoh, pada awalnya kebutuhan terhadap rumah adalah sebatas rasa ‘phobia’ manusia terhadap ancaman rasa dingin, hujan, panas, binatang buas dan kegelapan malam. Namun dalam perkembangan sosial dan kultural, terjadilah pengelompokan ‘selera’ untuk kemudian menjelma menjadi desa-desa ‘mode/trend’. Inilah yang mengakibatkan sampai sekarang kita menikmati keragaman rumah adat di Nusantara ini.

Setelah dunia ini menciut disebabkan akses yang bisa menembus ruang dan waktu dengan teknologi jaringan global, trend tersebutpun cenderung juga mengubah selera menjadi selera global, tidak lagi terkotak dalam koloni yang kecil. Apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain, cepat mempengaruhi (selera) di belahan dunia lainnya. Celah-celah inilah yang kelak dijadikan pemicu sebuah gagasan/ide untuk berinovasi, jika tetap ingin bertahan di dunia desain. ‘Pijaran’ gagasan/ide ini hanya dimiliki oleh manusia-manusia yang kreatif dan anti kemapanan!